SBY Harus Kembali Injak Bumi

20/04/2009 - 21:43
Herdi Sahrasad

INILAH.COM, Jakarta – Susilo Bambang Yudhoyono bisa memenangkan Pemilihan Presiden tanpa ngasorake. Caranya: memilih Jusuf Kalla sebagai calon wakil presidennya. Jadi, bukan dengan membakar para elite Partai Golkar.

Masih ingat semboyan pasangan SBY-JK saat memenangkan Pilpres 2004? Ya, 'Bersama Kita Bisa'. Belakangan ini, semboyan itu seakan hanya slogan hampa. Itu karena sikap SBY yang secara halus menyudutkan JK dengan mengajukan lima kriteria bagi cawapres SBY dalam Pilpres nanti.

"SBY menyudutkan JK dengan cara ini. Orang khawatir hukum karma terjadi kepada SBY karena trik politiknya yang pongah, bersembunyi dalam kehalusan permainan dan state craft-nya sendiri," kata Tisnaya Kartakusuma, akademisi alumnus UI dan Sorbonne, Prancis.

SBY sebaiknya menjaga martabat dan perasaan JK sebagai sesama pemimpin bangsa, dengan fatsun politik yang baik dan tatakrama yang wajar, mikul nduwur mendem jero pula. Agar tak menimbulkan spekulasi para elite Golkar yang bisa mengeksploitasi peran JK dalam penurunan suara Golkar demi kepentingan sesaat.

Orang tahu, JK sengaja dijatuhkan dengan cara menurunkan perolehan suara Golkar. Salah satu faktornya adalah JK memiliki nasionalisme ekonomi untuk memberdayakan bumiputra agar bisa saling menopang dengan kekuatan modal warga keturunan yang lebih dulu maju. JK juga melihat, modal global bisa menggilas modal nasional jika neoliberalisme dibiarkan merajalela.

Tapi, SBY adalah sosok yang acap menghitung dan mengukur kemampuan lawan maupun mitra politiknya. Kalkulasi politiknya selalu mengambil yang berfaedah, pragmatisme. Sehingga sangat mungkin SBY lupa diri bahwa JK adalah cawapres yang teruji karena lama bekerja sama dengannya.

Dengan melihat JK terpukul akibat suara Golkar turun dalam Pemilu 2009, mestinya SBY justru empati dan menolong JK sebagai satrio pinandito sesuai semboyan 'Bersama Kita Bisa'. Bukan malah memakai politik Machiaveli yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa bernegara.

Sejauh ini, merebak rumor, SBY menoleh ke Hatta Rajasa dari PAN, yang jelas partainya jauh lebih kecil dari Golkar. Ada pula rumor, PKS tak mungkin menyorongkan Sri Mulyani jika wanita itu tak berkenan di hatinya pula. SBY adalah cermin ambiguitas, meski cermin itu retak dengan sepatu kaca yang retak pula. Adakah ia menyadarinya?

Situasi ini melukai sebagian elite Golkar yang dipimpin JK. Padahal dulu JK mendapat restu dan dukungan SBY sendiri ketika mengambil alih Golkar dari Akbar Tanjung untuk menopang pemerintahan SBY-JK ke depan.

Kini JK dalam posisi dilematis, maju kena mundur kena. Sebagai tokoh senior seperti halnya Akbar, JK tahu diri. JK melihat SBY kian menjauhkan peluang baginya untuk tampil kembali berdua dengan semboyan spiritual 'Bersama Kita Bisa' justru di saat JK dalam posisi 'sudah jatuh tertimpa tangga pula'.

Dengan mengajukan lima kriteria bagi cawapresnya, SBY secara langsung atau tak langsung telah pula membelah Golkar, selain PAN, PKS, PKB dan PPP yang kini bergulat dengan konflik kepentingan internalnya sendiri. Tampaknya, SBY mengerti dan lihai atas psikologi politik di kalangan elite partai negeri ini yang haus kekuasaan.

Bayangkan, jika SBY mau berduet dengan JK, maka seluruh adrenalin politik internal di kalangan elite Golkar, PAN, PKB dan PPP niscaya relatif mengendap, tak bergejolak seperti cacing kepanasan. Dengan sikap SBY yang seolah membuka perlombaan bagi para elite Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP, terjadilah 'politik menggunting dalam lipatan' di kalangan parpol-parpol itu.

"SBY sangat lihai memainkan kartu trufnya. Golkar, PAN, PKS, PKB dan PPP runyam atau merah padam dibuatnya," kata seorang politisi Fraksi Partai Golkar DPR yang kecewa.

Bagaimanapun JK sudah mengabdikan dirinya untuk mendampingi SBY selama 4,5 tahun ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun sikap SBY terkesan mempermalukan JK yang sedang kesulitan.

Menang, adalah hak SBY menentukan kriteria cawapresnya. Tapi bukankah SBY masih berduet bersama JK sampai Oktober 2009. Sinyal penolakan SBY atas JK mencerminkan betapa ironis dan paradoksnya slogan 'Bersama Kita Bisa', jika akhirnya SBY-JK berpisah setelah lima tahun bekerja sama.

Betapapun, JK adalah sosok yang berperan menentukan dalam perdamaian Aceh, Poso dan Ambon serta dalam pembangunan kita. Dan ia mengerti karakter diri dan karakter wong sabrang lainnya - meminjam istilah Geertz, yang dipahami JK dengan intuisi dan naluri kulturalnya ketika harus menyelesaikan persoalan di Aceh, Poso dan Ambon.

Tidaklah muluk jika masih ada pihak-pihak yang ingin, SBY-JK berkelanjutan, sebagai dwitunggal, kecuali SBY yang tak bersedia karena godaan untuk ganti pasangan. Kultur politik gonta-ganti pasangan adalah cerminan Machiavelli demi kekuasaan.

Kita yakin SBY bukan tipe orang yang mudah gonta-ganti pasangan, sekalipun situasinya memungkinkan. Ataukah analisis ini yang telah salah menginterpretasikannya? Barangkali SBY harus kembali menginjak bumi. [I4]


BERITA TERKAIT

No comments:

Archives