PNS Berduit 1 Triliun, Hebat!

Bahasyim Assifie Jadi Nasabah Prioritas BNI
Mengurai Kekayaan Pegawai Pajak Pemilik Rp 1 Triliun (1)
Sabtu, 09 Oktober 2010 , 08:57:00 WIB

Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII Bahasyim Assifie diduga memiliki duit sekitar Rp 1 triliun. Jaksa yang menangani kasusnya curiga, uang tersebut adalah hasil korupsi. Soalnya, penghasilan Bahasyim sebagai PNS paling banter Rp 30 juta per bulan.

Apalagi, dalam kurun waktu 2004 sampai Maret 2010, me­nu­rut jaksa penuntut umum (JPU), se­cara formil Bahasyim tidak me­­mi­liki usaha yang dapat meng­­ha­sil­kan keuntungan dengan nilai besar.

Nah, duit sebesar satu triliun itu tersebar di rekening istri dan ke­dua anaknya. Kali ini Rakyat Mer­deka menguraikan aliran uang khusus ke rekening istrinya, Sri Purwanti.

Berdasarkan data itu, Baha­syim sejak tahun 2002 sudah me­miliki uang sebesar Rp 30 miliar. Pria kelahiran Sidoarjo 58 tahun lalu ini, menurut JPU, tercatat sebagai nasabah prioritas di BNI lantaran mempunyai dana lebih dari Rp 1 miliar.

Untuk menutupi kecurigaan, pada 5 Oktober 2004 dibuka re­kening Taplus Bisnis Perorangan atas nama Sri Purwanti pada BNI Cabang Jakarta Pusat yang bernomor 19996341-6, dengan saldo awal Rp 633.063.416.

Terhitung sejak tahun 2004 sam­pai 2010, rekening bernomor 19996341-6 milik istri Ba­ha­syim itu su­dah mencapai Rp 885.147.034.806 (de­lapan ratus de­la­pan puluh lima miliar se­ra­tus empat puluh juta tiga puluh em­­pat ribu delapan ratus enam ru­­p­iah) dengan adanya 304 kali jum­lah mutasi berupa trans­fer ma­suk dan bunga deposito.

Dari 304 kali jumlah mutasi dalam bentuk setoran tunai plus bunga deposito itu, sedikitnya ter­dapat 15 kali mutasi berupa setoran tunai dari Bahasyim ke­pada istrinya di rekening 19996341-6 de­ngan ki­saran nilai Rp 4.175.750.000 (empat miliar seratus tujuh puluh lima juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Melihat hal itu, JPU yakin bah­wa seluruh uang milik terdakwa Bahsyim di rekening istrinya itu diduga sebagai hasil tindak pi­dana korupsi yang berkaitan de­ngan pelaksanaan tugas dan ja­batan­nya sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta VII pada 2002, kemudian sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Koja pada 2006, kemudian seba­gai Kepala Pelayanan Pajak Pra­tama Jakarta Palmerah pada 2007, terakhir sebagai Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan, Kementerian Negara PPN / Bappenas pada 2008-2010.

Masih berdasarkan data JPU, Bahasyim pada 3 Februari 2005 dan pada Oktober 2005 bertem­pat di Bank BCA, lantai 1 Ge­dung Bina Mulia, Kuningan, Ja­kar­ta Se­latan diketahui menerima hadiah atau janji untuk meng­gerakkan atau tidak melakukan se­suatu da­lam jabatannya yang ber­tentangan dengan kewajibannya.

Pada 3 Februari, terdakwa se­laku Pegawai Negeri Sipil men­da­tangi wajib pajak yang ber­nama Kartini Mulyadi di lantai lima Gedung Bina Mulia, Ku­ni­ngan, Jaksel untuk meminta se­jum­lah uang. Karena adanya pera­saan takut kepada Bahasyim, ma­ka Kartini menyerah­kan uang se­besar Rp 1 miliar, yang di­am­bilnya dari rekening 607-0054777 Bank BCA miliknya dan langsung menyetor­kan ke re­kening nomor 0019963416 atas na­ma Sri Pur­wanti, istri Bahasyim.

Namun, data JPU tersebut ditampik salah satu pengacara Bahasyim, Rico Pandairot. “Ka­mi sebagai kuasa hukum Ba­ha­syim merasa keberatan atas dak­waan JPU, karena mereka hanya berdasar pada asumsi dan men­duga-duga tanpa fakta hukum yang jelas,” katanya kepada Rakyat Merdeka.

Menurut Rico, JPU tidak mem­be­rikan keterangan yang kuat me­ngenai aliran duit ke rekening istri Ba­hasyim. “Kami heran men­de­ngar dakwaan JPU, karena uang em­pat miliar pada rekening Sri Pur­wanti di Bank BNI itu tidak se­mua­nya berasal dari Bahasyim. Yang mur­ni dari Ba­hasyim itu hanya satu mi­liar yang diambil dari rekening mi­­lik Kartini Mulyadi,” tambahnya.

Pria yang tergabung dalam kan­tor pengacara OC Kaligis and Par­tner ini mengatakan, pihaknya akan membuat bantahan untuk mem­buk­tikan bahwa duit yang dimiliki istri Bahasyim bukan berasal dari hasil korupsi peng­gelapan pajak. “Tidak benar jika ada uang empat miliar lebih di re­ke­ning istri klien kami,” tandasnya.

Yang Nyuap Dan Disuap Kena Hukuman
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum Universitas Trisakti

Para penegak hukum di ke­po­lisian dan kejaksaan diminta lebih cermat memelototi aliran duit di re­kenig istri Bahasyim Assifie.

“Polisi dan jaksa jangan sam­pai lengah dalam mencermati re­ke­ning istri Bahasyim. Se­ha­rus­nya rekening ini digunakan se­ba­gai bukti yang kuat untuk mem­bongkar siapa penyuapnya,” kata pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan.

Asep pun sependapat jika dalam perkara ini, Bahasjim tidak bisa berdiri sendiri. Sedari awal, me­nurut analisanya, ada bebe­ra­pa pihak yang diprediksi terlibat. Ia menyebut, para pengusaha yang menjadi wajib pajak serta orang-orang di lingkungan pajak ju­ga harus diuraikan keter­libatan­nya secara transparan. “Wajar ka­lau semua kena hukuman, yang nyuap dan disuap harus mendapat hukuman, darimana dapatnya uang sebesar itu kalau hanya PNS biasa,” ujarnya.

Untuk itu, sambungnya, dibu­tuhkan majelis hakim dan jaksa-jaksa yang punya komitmen kuat dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal itu dilakukan guna menyibak dugaan keterlibatan pi­hak lain. “Nantinya mereka yang diduga terlibat bisa dija­dikan tersangka maupun ter­dakwa dalam kasus ini. Kejelian pe­nun­tut umum dan hakim akan sangat menentukan di sini.” ujarnya.

Curiga Pelakunya Berjamaah
Desmon Junaedi Mahesa, Anggota Komisi III DPR

Politisi Senayan mendesak pe­negak hukum untuk me­me­riksa para pejabat pajak yang di­­duga terlibat kasus Ba­ha­syim Assifie.

“Saya menduga ada keter­li­bat­­an antara atasan dan ba­wa­han. Makanya saya men­dorong untuk terus diusut sam­pai tuntas alir­an duit Bahasyim ini, ter­uta­ma dari rekening istri­nya,” kata anggota Komisi III DPR Des­­mon Junaedi Mahesa, kemarin.

Dia sangat yakin bahwa ke­ja­hatan model demikian di­la­kukan secara berjamaah. Me­nu­rutnya, kasus dengan jumlah uang yang besar kemungkinan akan me­nyeret banyak nama.

“Bahsyim tidak mungkin bisa me­laku­kannya sendiri,” tegasnya.

Menurutnya, kejelian hakim dan ketelitian jaksa penuntut, bisa membongkar misteri kasus tersebut. Dia juga meminta ter­dak­wa dan tim kuasa hu­kum­nya mem­berikan keterangan yang se­benar-benarnya dalam persi­da­ngan. Selain bakal meri­ngankan hukuman terdakwa, penegak hu­kum juga bisa me­nindaklanjuti ke­terangan ter­dakwa dalam m­e­nyingkap ke­ter­libatan pihak lain.

“Nanti akan kelihatan siapa sa­ja ok­num Ditjen Pajak yang ter­libat dalam skandal pencu­ci­an uang dan korupsi ini,” tan­dasnya.

Politisi Partai Gerindra ini juga berharap kepada majelis ha­kim yang menangani kasus ini di Pengadilan Negeri Jakarta Se­lat­an, agar bisa mengawal jalan­nya persidangan dengan baik. Soal­nya, kasus Bahasyim merupakan salah satu kasus besar yang men­dapat sorotan banyak pihak.

“Kita harap ma­jelis hakim Pe­ngadilan Negeri Jakarta Se­latan bisa be­kerja optimal da­lam memutus perkara,” tam­bahnya.


Rekening Anak Bahasyim Ajang Lalu Lintas Miliaran

Mengurai Kekayaan Pegawai Pajak Pemilik Rp 1 Triliun (2)


RMOL. Bahasyim Assifie, Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII yang ditengarai memiliki duit sekitar Rp 1 triliun juga menggelontorkan uang ke rekening atas nama anaknya, Riandini Resanti. Menurut data dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), rekening Riandini juga kecipratan duit Bahasyim. Seperti rekening istri Bahasyim, Sri Purwanti dan anak Bahasyim yang lain, Winda Arum Hapsari.

Cerita tentang ceperan dana ke re­kening Riandini ini berawal pada 21 Agustus 2008. Ketika itu, terdakwa Bahasyim mem­bu­ka rekening BNI Taplus atas na­ma Riandini Resanti di BNI S­e­na­yan. Rekening bernomor 15342573-5 ini awalnya diisi saldo setoran tu­nai dari Baha­syim senilai Rp 290 juta.

Dalam laporan rekening koran atas aktivitas rekening itu ter­ung­kap, untuk kali kedua ter­dakwa kembali menggelontorkan uang tu­nai sebesar Rp 100 juta ke re­ke­ning anaknya pada 11 Februari 2009. Dalam tempo setahun, rekening Riandini itu menjadi Rp 390 juta. Tapi belum lama nom­i­nal uang tersebut tersimpan di re­kening Riandini, Bahasyim me­ngo­tak-atik isi rekening.

Singkatnya, terdakwa melaku­kan serangkaian aktivitas per­ban­kan berupa mutasi, pengambilan uang, pemindahan buku, transfer atau uang keluar ke rekening lain sebesar Rp 172, 469 juta. Alhasil, pa­da pertengahan April 2010, nominal uang di rekening terse­but totalnya menyusut jadi Rp 217, 53 juta.

Pada bagian lain, aksi terdakwa juga diidentifikasi melalui pem­bukaan rekening Taplus Bisnis Perorangan pada 5 September 2008. Rekening baru yang dibuka itu bernomor 15444485-9 atas na­ma Riandini Resanti. Di rekening ini, terdakwa mengucurkan saldo awal Rp 10 juta. Uang tersebut di­peroleh dari hasil pemin­dah­bukuan rekening 15342464-0 atas nama Sri Purwanti.

Sejak pembukaan rekening ini hing­­ga 2010, jaksa menulis sedi­kit­nya ada delapan kali tran­saksi yang totalnya mencapai Rp 5,002 miliar.

Uang itu diidentifikasi merupa­kan uang terdakwa yang sebe­lum­nya disimpan secara berpin­dah dari rekening satu ke reke­ning lain.

Tercatat juga pada rekening Riandini ini ada sejumlah tran­saksi terkait mutasi berupa pe­ngam­bilan uang, pemindahan bu­ku, transfer atau uang keluar se­banyak Rp 3,824 miliar. Atas hal ini maka pada pertengahan April 2010, saldo yang mengendap di re­kening 15444485-9 nominal­nya Rp 1,17 miliar.

Atas berbagai manuver Baha­syim, jaksa beranggapan, semua uang yang ditempatkan terdakwa baik untuk membuat dan mengisi masing-masing rekening, selu­ruhnya berasal dari terdakwa un­tuk mencari keuntungan.

Akibat pemindahan reke­ning maupun transaksi oleh ter­dakwa di rekening Riandini ini pula, terdakwa dinilai jak­sa me­langgar hukum.

Karena pertimbangannya, se­bagai Kepala Kantor Pelayanan Pa­jak Pratama Jakarta Palmerah se­jak 5 Juli 2007 dan menjabat se­bagai Inspektur Bidang Kinerja Ke­lembagaan Bappenas sampai 30 Maret 2010, terdakwa dinilai tid­ak mempunyai usaha yang pu­nya penghasilan relatif besar.

Sebagai PNS, terdakwa hanya pu­nya penghasilan Rp 30 juta per­bulan. Sehingga, uang ter­dak­wa di rekening nomor 15444485-9 patut diduga sebagai hasil kejahatan.

Pada sisi lain, jaksa juga mem­beri catatan selaku PNS Pajak, terdakwa yang sempat menjadi Ke­pala Kantor Pelayanan Pajak J­akarta Koja, Kepala Kantor Pe­layanan Pajak Pratama Jakarta, Pal­merah memiliki tugas dan ke­we­nangan memanggil, meme­rik­sa wajib pajak, meminta ke­te­ra­ngan pihak ketiga, menerbitkan su­rat perintah di antaranya surat pe­rintah pengamatan, surat pe­rintah pemeriksaan pajak, surat perintah penyidikan, surat perin­tah penggeledahan dan atau pe­nyi­taan dokumen wajib pajak, su­rat perintah penyegelan dan me­nga­jukan usul atau pendapat ter­hadap hasil kegiatan sesuai surat perintah yang dikeluarkan kepada atasan.

Selain itu sebagai PNS pada Kemenkeu bidang perencanaan pembangunan nasional, terdakwa yang menduduki jabatan sebagai Inspektur bidang Kinerja Ke­lem­bagaan Bappenas mempunyai tu­gas dan kewenangan melakukan audit kinerja pada unit eselon I dan II yang meliputi audit ma­na­je­men dan tugas pokok dan fung­si, audit kajian lembaga pe­me­rin­tah sebagian besar produk pe­ren­canaan pembuatan kajian yang me­liputi biaya, ruang lingkup kaji­an dan manfaat serta mela­ku­kan audit khusus baik individu maupun organisasi, diduga ber­po­tensi melakukan penye­le­we­ngan atas jabatannya.

Namun, menurut anggota tim kua­sa hukum Bahasyim, Rico Pan­dairot tuduhan yang dialamat­kan jaksa kepada kliennya belum di­lengkapi bukti-bukti. Untuk itu, jaksa diminta melakukan pem­buk­tian atas tuduhannya dalam per­sidangan di Pengadilan Negeri Ja­karta Selatan.

“Sejauh ini kami masih me­nung­gu proses di persidangan. Ar­tinya kalau menyimak dak­wa­an yang ada, saya merasa itu tidak leng­kap,” ujarnya. Ketidak­leng­kap­an berkas tuntutan jaksa ini, im­buhnya, dipicu tidak adanya bukti-bukti pendukung.

“Buktinya apa Bahasyim me­mi­liki uang-uang itu. Selama ini ha­nya ada satu bukti yang di­je­las­kan jaksa, yaitu pengiriman uang dari seseorang berinisial R kepada Bahasyim yang satu miliar. Lain­nya tidak ada pen­je­lasan darimana asalnya,” timpal anak buah OC Kaligis ini. Lan­tar­an itu, ia berha­rap m­a­jelis ha­kim jeli melihat tuduhan jaksa. “Biar semuanya jelas. Yang kita bu­tuhkan saat ini kan pemb­uk­tiannya.

Tuntutan tanpa didasari bukti-bukti itu kan sumir,” tandasnya. Meski demikian, pihaknya me­nga­ku sangat hati-hati dalam me­la­kukan pembelaan terhadap klien. Artinya, pihak kuasa hu­kum tidak mau disebut atau di­nilai terlalu memaksakan ke­hen­dak di persidangan yang baru dibuka ini.

Hakim Kasus Ini Harus Berani
Danang Widoyoko, Koordinator ICW

Dugaan konspirasi dalam praktik pencucian uang oleh ter­dakwa Bahasyim Asiffie ma­sih jadi misteri. Demi me­wu­jud­kan rasa keadilan ma­sya­rakat, dan tidak memunculkan ke­san tebang pilih dalam pem­be­rantasan korupsi, sejumlah ka­langan mendesak agar sin­dikat pencuci uang yang nota be­ne profesional alias penjahat ber­dasi segera digulung.

Penjelasan seputar hal ini di­kemukakan Koordinator In­do­nesia Coruption Watch (ICW) Danang Widoyoko. Me­nur­ut­nya, penanganan kasus Ba­ha­syim masih terkesan tebang pilih. Pasalnya, sejauh ini pe­na­nganan kasus tersebut baru bi­sa menggiring satu terdakwa sa­ja. Padahal dari kacamatanya, pe­kara pencucian uang masuk kategori tindak pidana berat atau extra ordinary crime.

“Ini kejahatan terorganisir yang tidak mungkin pelakunya tunggal,” tegasnya. Atas hal itu, ia mempertanyakan mekanisme penyidikan maupun penuntutan yang menetapkan Bahasyim sebagai pelaku atas tindak pi­dana pencucian uang negara miliaran rupiah.

Dia menyarankan, pengusut­an dugaan skandal pajak ini hen­daknya tidak setengah-sete­ngah. Karena, lanjutnya, per­soal­an ini seharusnya dijadikan mo­mentum bagi penegak hu­kum untuk menyingkap aktor maupun dalang utama kasus ini.

Danang menambahkan, ke­se­riusan dan keberanian hakim Pe­ngadilan Negeri Jakarta Se­latan yang menangani per­sid­a­ng­an kasus ini bakal sangat me­nentukan keberhasilan para pe­negak hukum dalam me­me­ra­ngi masalah pajak.

“Kita tinggal berharap pada majelis hakim ya­ng menangani kasus ini. Me­reka adalah kunci dalam me­nyingkap keterlibatan oknum lain. Baik oknum pe­ne­gak hukum itu sendiri maupun para wajib pajak yang selama ini dikenal dengan istilah nakal atau teridentifikasi berm­asa­lah,” imbuhnya.

Kenapa Hanya Satu Terdakwa
Eva Kusuma Sundari, Anggota Fraksi PDIP

Nada sumbang atas pena­nga­n­an kasus yang membelit pega­wai pajak terus bergulir. Ke­na­pa dalam perkara tindak pidana pen­cucian uang dengan ter­dak­wa Bahasyim Asiffie, penyidik dan penuntut umum hanya mam­pu menjerat satu terdakwa?

Kinerja aparat kepolisian mau­pun kejaksaan dalam me­nangani kasus Bahasyim ini diso­rot anggota Fraksi PDIP DPR Eva Kusuma Sundari. Dia me­ng­ingatkan, jangan sampai ada konspirasi atau deal-deal ter­tentu untuk menutupi pihak lain yang terlibat pusaran kasus ini.

“Saya sependapat kalau ka­sus ini masuk kategori kons­piratif. Artinya, ada banyak pi­hak yang diduga terlibat di sini. Ini harusnya digali,” katanya se­raya menambahkan, motivasi jak­sa dalam menindaklanjuti dan mendalami tuntutannya harus didorong. “Apakah dalam per­kara ini terdakwanya di­pe­san atau diorder orang tertentu. Siapa yang bermain harus di­ungkapkan,” lanjutnya.

Lebih jauh ia merinci, se­jum­lah transaksi mencurigakan yang dilakukan Bahasyim sela­ma ini harus diungkapkan seca­ra gam­blang di persidangan.

“Ki­ta be­lum melihat ini ka­re­na si­dangnya pun baru di­mu­lai. Ta­pi saya ha­rap, semua fak­ta di­telusuri. Di­ungkapkan pada pub­lik agar rasa keadilan itu be­nar-benar berpihak pada ma­sya­rakat,” tambahnya.

Sinyalemen atas kejanggalan pr­oses penetapan tersangka oleh kepolisian hingga Ba­ha­syim berstatus terdakwa pun, me­nurutnya, harus dievaluasi se­cara komprehensif. Pasalnya, ka­ta dia, kecurigaan tentang ada­nya ‘permainan’ dalam me­nye­lamatkan pihak-pihak ter­tentu juga besar kemung­kinannya.

Untuk itu, dia memper­ta­nya­­kan mekanisme penga­wasan ya­ng ada di kepolisian dan ke­jak­saan.

“Prosedurnya ba­gai­ma­na. Apa­k­ah penetapan atas satu ter­dak­wa di kasus ini sudah bisa di­­ka­tegorikan sebagai langkah ya­ng tepat? Ini juga kan menjadi per­­soalan atau proble­ma tersen­diri yang harus dija­wab oleh pim­­pin­an kepo­lisian mau­pun ke­­jak­saan yang baru,” tegasnya. [RM]




Bermula 1 Miliar, Rekening Anak Bahasyim Jadi 284 M

Mengurai Kekayaan Pegawai Pajak Pemilik Rp 1 Triliun (3-Selesai)
Senin, 11 Oktober 2010 , 07:55:00 WIB

RMOL.
Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII Bahasyim Assifie punya duit Rp 1 triliun yang terserak di rekening istri dan anak-anaknya, salah satunya Winda Arum Hapsari.

Menanggapi hal tersebut, kua­sa hukum Bahasyim, Rico Pan­dairot menyatakan, dakwaan ja­ksa penuntut umum (JPU) ka­sus ini hanya berdasar pada asum­si tanpa fakta hukum yang je­las. Menurutnya, JPU tidak mem­berikan keterangan yang kuat mengenai aliran duit ke re­kening anak-anak dan istri Bahasyim.

Pria yang tergabung dalam kantor pengacara OC Kaligis and Par­tner ini menambahkan, pi­hak­nya akan menyampaikan ban­tah­an dalam persidangan di Pe­nga­dilan Negeri Jakarta Selatan, bah­wa duit di rekening istri dan anak-anak Bahasyim bukan hasil ko­rupsi penggelapan pajak.

Selain mengendus akal-akalan terdakwa Bahasyim lewat reke­ning istrinya, Sri Purwanti, jaksa pe­nuntut umum (JPU) kasus ini ju­ga membongkar indikasi prak­tik pencucian uang dan korupsi ter­dak­wa melalui identifikasi ter­hadap rekening Winda Arum Hapsari.

Berdasarkan data JPU, kisah re­kening ini diawali pada 15 Agustus 2005. Pada tanggal ini, ter­dakwa membuka rekening Tap­lus Bisnis Perorangan atas na­ma Winda Arum Hapsari di BNI Kantor Cabang Jakpus dengan nomor rekening 7371043-7. Re­kening itu awalnya diisi Rp 1 mi­liar dengan sumber dana dari pe­min­dahbukuan rekening nomor 199963416 milik Sri Purwanti.

Dalam rekening Sri, jaksa me­nilai pada kurun 2005 hingga 2010 terdapat mutasi, penyetoran dan transfer sebanyak 80 kali ke re­kening Winda dengan total se­lu­ruh transaksi Rp 284,709 miliar.

Lalu dari perhitungan yang ada, diperoleh keterangan bahwa uang pada rekening Taplus Bisnis Per­orangan atas nama Winda Arum Hapsari pada kurun 2005 sampai 2010 membuku­kan mu­ta­si rekening berupa pengambilan uang, pemindahbukuan, transfer atau uang keluar sebanyak Rp 267, 033 miliar. Karenanya, pada per­tengahan April 2010 saldo re­kening Winda yang tersisa ber­jumlah Rp 17, 675 miliar.

Kemudian, pada 18 Februari 2008, Bahasyim juga membuka re­kening Taplus Bisnis Per­orangan atas nama Winda Arum Hapsari di BNI Cabang Gambir de­ngan nomor rekening 14180760-4 de­ngan saldo awal Rp 60 juta. Saldo awal diperoleh ter­dakwa dari ha­sil pemin­dah­buku­an rekening 7371043-7 yang juga atas nama Winda Hapsari. Pada rekening itu teridentifikasi, dalam kurun wak­tu 2008 hingga 2010 tercatat mutasi berupa pe­nyetoran, pe­min­dah­bu­kuan atau transfer sebanyak 15 kali.

Jumlah transfer uang masuk se­banyak 15 kali hingga tercatat sal­do Rp 127, 551 miliar. Ter­da­pat juga transaksi berupa transfer uang Rp 127, 545 miliar. Akibat transfer ini, saldo rekening itu pada April 2010 tinggal Rp 5,67 juta.

Atas transaski di rekening 14180760-4 milik Winda Hap­sa­ri, JPU berpendapat, rekening ter­se­but patut dicurigai sebagai ha­sil kejahatan. Jaksa curiga, aliran uang dari rekening-rekening itu un­tuk menghindari kecurigaan pi­hak lain. Dalam surat dakwaan, jak­­sa juga menuduh, pemecahan re­­kening terdakwa kepada dua anak dan istrinya ditujukan untuk me­­mu­dah­kan terdakwa me­ngon­trol kondisi alias fluktuasi ke­uangannya.

Awalnya, pemecahan rekening dilaksanakan terdakwa dengan meng­hubungi saksi Yanti Purna­ma­sari selaku Customer Rela­tion­­ship Manager (CRM) PT Bank BNI Cabang Utama Jakarta Pu­sat. Menyandang status na­sa­bah utama BNI, terdakwa me­minta saksi Yanti untuk membuka rekening lain atas nama Sri Pur­wanti, Winda Arum Hapsari dan Riandini Resanti di beberapa ca­bang bank plat merah tersebut.

Untuk hal itu, berlokasi di ke­diamannya, Jalan Belalang No­mor 12 RT 009/03 Rawa Jati, Pan­­coran, Jaksel, terdakwa me­min­ta kartu tanda penduduk (KTP) milik Sri Purwanti, Winda Arum dan Riandini Resanti. Terdakwa lalu menyerahkan tiga KTP tersebut ke petugas BNI di Ja­lan Dukuh Atas, Jakpus. Untuk me­realisasikan permohonan ter­dakwa, saksi Yanti Pur­na­ma­sari pun mendatangi kediaman terdakwa.

Selanjutnya di kediaman ter­dakwa pula, saksi Yanti mem­ban­tu terdakwa membuka beberapa re­kening atas persetujuan istri dan dua anak terdakwa. Saksi me­minta tandatangan istri dan dua anak terdakwa yang memilih je­nis rekening berikut cabang bank yang memiliki produk sesuai keinginan terdakwa.

Adapun jenis produk per­bankan yang dipilih terdakwa antara lain rekening Dollar Plus Per­orangan, Taplus Bisnis Per­orangan, Taplus Bisnis Per­orang­an dan Taplus.

Menurut JPU, uang di reke­ning-rekening itu berasal dari ha­sil korupsi, karena penghasilan Ba­hasyim sebagai PNS paling tinggi Rp 30 juta per bulan. Selain itu, Bahasyim tidak punya bisnis yang bisa menghasilkan keun­tungan luar biasa.

Pengawasan Terhadap Aparat Pajak Lemah
Azis Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi III DPR

Koordinasi antar institusi pe­negak hukum yang masih le­mah membuat penanganan ka­sus korupsi dan pencucian uang ikut-ikutan lemah. Sinyalemen atas lemahnya penanganan du­gaan korupsi dan pencucian uang ini disampaikan Wakil Ke­­tua Komisi III DPR Azis Syamsudin.

Dia menilai, pengawasan ter­hadap kinerja aparat pajak se­lama ini juga bisa dikategorikan le­mah. Hal itu membuat wajib pa­jak mau­pun aparatur pajak me­man­faat­kan kelemahan ter­sebut. “Ki­ta melihat masih ada ke­lemahan di sana-sini. Pe­nga­wasan internal dan penindakan ter­hadap aparat nakal sangat mi­nim,” ujarnya.

Minimnya pengawasan dan pe­nindakan inilah yang me­nu­rut­nya, kerap dijadikan celah atau pintu masuk bagi oknum ya­ng ingin korupsi. “Kita se­ba­gai mitra kerja penegak hu­kum melihat ini. Kita terus me­la­ku­kan pe­nga­was­an dan pe­man­tau­an secara in­ten­sif. Kita dorong agar aparat pe­ne­gak hukum berani mengambil tindakan tegas terhadap siapapun yang terlibat masalah hukum. Apa­lagi menyangkut korupsi dan pen­cucian uang,” tandasnya.

Politisi Partai Golkar ini pun men­­duga, perkara korupsi atau skan­dal pajak oleh terdakwa Ba­hasyim merupakan tindakan ko­lektif dan terencana. Didasari hal ini, ia menduga selain Ba­ha­syim masih ada keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut. “Saya pas­tikan, kita di Komisi III terus men­dorong aparat pe­negak hu­kum agar berani me­ngambil lang­kah tegas dalam melak­sa­na­kan tugas dan ke­wa­jibannya me­ne­gak­kan hukum,” ujarnya.

Mereka Saling Bantu, Saling Melindungi
Marwan Batubara, Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPKN)

Kepolisian dan kejaksaan di­minta lebih berani menun­taskan ka­sus dugaan pencucian uang dan ko­rupsi ini. Menuntaskan dalam arti yang setuntas-tun­tasnya. Se­mua yang terlibat ha­rus dipores se­cara hukum hingga ke pengadilan.

“Jumlah rekening yang sede­mikian besar itu seharusnya su­dah pantas dicurigai dari awal,” kata Koordinator Komite Penye­lamat Kekayaan Negara (KPKN) Marwan Batubara.

Di balik uang yang sangat be­sar tersebut, menurutnya, patut di­duga ada keterlibatan mafia di da­lamnya.

“Mereka akan saling bantu. Akan saling melindungi sa­tu sama lain,” tegasnya.

Dari sinyalemen tersebut, ia me­minta agar seluruh komponen aparat penegak hukum mau ber­sama-sama melakukan koor­di­nasi intensif dalam memerangi ke­lompok mafia yang me­rong­rong wibawa hukum negeri ini.

“Dibutuhkan keberanian ekstra dari kepolisian dan kejaksaan dalam menuntaskan ini. Siapa pengirim uang, apakah wajib pajak bermasalah, perusahaan mana, seharusnya dibongkar secara transparan,” tandasnya.

Bekas anggota Dewan Perwa­kilan Daerah (DPD) ini pun me­nyatakan ketidakheranannya, jika dalam kasus ini hanya Bahasyim yang dijadikan ter­dakwa. Untuk itu, lagi-lagi ia meng­ha­rapkan se­lain keberanian ekstra aparat kepolisian dan ke­jaksaan, majelis hakim juga harus jeli membaca alur persi­dangan kasus ini.

“Saat ini kita berharap majelis hakim berani mengambil te­ro­bosan hukum dalam menyingkap misteri pajak kakap ini. Karena saya sangsi kalau pelaku kasus ini hanya Bahasyim seorang,” ucapnya. [RM]

No comments:

Archives