Inilah Sepak Terjang Petisi 28 |
VIVAnews - Setiap kali ada momen politik besar, Petisi 28 selalu muncul. Kadang muncul dengan mengirimkan petisi, sesuai namanya, diskusi atau bahkan demonstrasi.
Beberapa hari ini, Petisi 28 menghiasi berita dengan desakan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mundur dari jabatan. Rabu 13 Oktober 2010 kemarin, rombongan Petisi 28 yang dipimpin Haris Rusly Moti menemui Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Pramono Anung.
Haris membawa 28 poin kegagalan Presiden yang terbagi dalam tujuh bidang. "Dari segi keamanan, Presiden juga gagal menciptakan rasa aman masyarakat dengan meluasnya berbagai konflik horizontal maupun vertikal," Haris membacakan pernyataan. "Karena itu sebaiknya beliau mengundurkan diri secara terhormat. Kami kaum muda siap melanjutkan memimpin bangsa dan negara."
Namun, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan tidak sepakat dengan usul tersebut. Sebab, bertentangan dengan demokrasi. "Saya pribadi termasuk yang berpandangan Presiden dipilih rakyat dan tatanan lima tahunan harus dihormati," ujarnya.
Sejarah Petisi 28
Melihat namanya, yang terpikir adalah Petisi 28 diisi 28 orang, seperti halnya Petisi 50 yang ditandatangani 50 orang. Namun Haris Rusly menyatakan, Petisi 28 bukan kelompok semacam Petisi 50. "Petisi 28 didirikan 28 Oktober 2009, beberapa hari setelah Presiden SBY dilantik," kata Haris.
Dari tanggal 28 itulah kemudian dipakai istilah Petisi 28. Anggota Petisi 28 adalah organisasi dan individu. Individu yang bergabung antara lain Adhie Massardi, mantan Juru Bicara Presiden (ketika dijabat Abdurrahman Wahid), dan Boni Hargens, pengajar di Universitas Indonesia. Haris mengklaim, ada 33 organisasi yang ikut dalam Petisi 28. Mereka semua berdiri sejajar. "Tak ada juru bicara atau koordinator," kata Haris.
Meski tak berbentuk organisasi formal, sepak terjang Petisi 28 cukup santer. VIVAnews mencatat, ada sejumlah kegiatan Petisi 28 yang menyedot perhatian publik. Berikut beberapa di antaranya:
Senin, 16 November 2009
Petisi 28 membawa "jamu obat kuat" untuk para inisiator Hak Angket Kasus Bank Century di gedung parlemen. Mereka mendukung para inisiator mengegolkan Angket.
"Kami datang untuk mendukung angket ini, karena Centurygate merupakan persekongkolan tingkat tinggi untuk merampok uang negara," ujar Adhie Massardi pada 16 November itu.
Adhie menyamakan skandal Century dengan skandal Watergate di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Richard Nixon. Ia menuduh para pejabat tinggi negara menjadi aktor-aktor utama di balik Centurygate. "Sri Mulyani yang saat itu menjadi Menteri Keuangan dan Boediono yang saat itu menjadi Gubernur BI, perlu diusut. Di bawah mereka, ada pula Ketua LPS," ujar Adhie.
Dan desakan Angket Century ini gol.
24 November 2009
Petisi 28 kembali ke gedung parlemen. Kali ini, di depan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, mereka mendesak Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani nonaktif dari jabatannya.
"Nonaktifkan Sri Mulyani dan Boediono," kata Haris. "Supaya memudahkan penyelidikan," ujarnya saat itu.
30 Desember 2009
Petisi 28 memfasilitasi peluncuran buku "Gurita Cikeas" karya George Aditjondro. Peluncuran buku ini berakhir ricuh ketika George melempar buku ke arah Ramadhan Pohan, politisi Demokrat, yang memberi tanggapan atas buku tersebut. Ramadhan kemudian melaporkan George ke polisi.
17 Februari 2010
Giliran aktivis petisi 28 selaku panitia penyelenggara peluncuran buku "Gurita Cikeas" melaporkan Ramadhan Pohan ke Polda Metro Jaya. Ramadhan dituduh melakukan provokasi dan perbuatan tidak menyenangkan saat hadir dalam peluncuran buku.
"Dia tidak diundang untuk hadir, namun mengaku datang untuk mewakili Staf Presiden Andi Arief, padahal saat itu panitia mengundang Andi Arief untuk menjadi pembicara menanggapi buku tersebut," ujar Aktivis Petisi 28, Haris Rusly, di SPK Polda Metro Jaya.
1 Maret 2010
Sejumlah aktivis dari Petisi 28 dan Aliansi Mahasiswa Nusantara menggelar aksi di depan Gedung DPR, Jakarta. Mereka mendesak agar para wakil rakyat berani dalam memutuskan pihak yang dianggap bersalah dalam skandal Bank Century dalam rapat paripurna pada 2 Maret.
Massa menggelar aksi dengan membawa spanduk dan poster. Mereka juga membawa poster gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Demonstrasi ini menyedot berita ketika salah satu anggota Petisi 28 diseret polisi karena dituduh provokator.
Dan keesokan harinya, DPR memutuskan bail out Bank Century bermasalah. Rekomendasinya, penegak hukum harus menyelidiki dugaan pidana.
7 Juni 2010
Haris Rusly mengeluarkan tantangan pada Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham untuk berdebat soal usulan Dana Alokasi Khusus Daerah Pemilihan Rp15 miliar. "Saya tantang Idrus dan Golkar untuk berdebat," kata Haris Rusly Moti, aktivis Petisi 28, kepada VIVAnews, Senin 7 Juni 2010.
Haris sendiri menjelaskan, usulan Dana Dapil yang menyedot Anggaran Pendapatan Belanja Negara ini tidak rasional. Menurutnya, sebagai wakil rakyat, seluruh anggota dewan memiliki tanggungjawab terhadap konstituennya di daerah pemilihan masing-masing namun untuk memajukan pembangunan di daerah adalah tanggungjawab pemerintah.
Dan usulan Dana Alokasi Khusus ini akhirnya kandas.
22 Juni 2010
Tak semua senang dengan keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Petisi 28 menggugat keberadaannya.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum merupakan badan yang dibentuk dan berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai hanya salah satu bentuk kemunafikan dalam penegakan hukum. Mereka pun berniat menggugat Satgas ini ke Mahkamah Agung (MA).
23 Agustus 2010
Petisi 28 memprotes keras dengan grasi dan remisi yang diberikan pemerintah kepada sejumlah tahanan kasus korupsi. Mereka mengirim nota protes kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam nota protes itu mereka menegaskan bahwa pemberian grasi, remisi dan pembebasan bersyarat para koruptor sungguh sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat. Pemberian sejumlah hak istimewa itu juga melemahkan perjuangan pemberantasan korupsi.
11 Oktober 2010
Petisi 28 mengirim surat kepada Presiden berisi 28 poin kegagalan. Mereka pun bertandang ke sejumlah tokoh politik menyampaikan soal itu, termasuk ke Wakil Ketua DPR Pramono Anung. "Ini pemanasan menjelang satu tahun pemerintahan pada 20 Oktober ini," kata Haris yang dulu berkuliah di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, itu.
Namun sepak terjang terakhir ini mendapat kecaman dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto. "Itu gerakan inskonstitusional. Mungkin itu keinginan 1-2 orang, tapi apakah pencerminan sikap seluruh rakyat Indonesia, tidak kan?" kata Djoko.
Dan Haris menanggapi ringan kecaman Djoko itu. Tak seharusnya pemerintah menanggapi kritik dengan begitu. "Seharusnya pemerintah berterima kasih pada kami karena telah membantu memetakan masalah," kata Haris.
No comments:
Post a Comment