Uighur, Lembar Hitam Dibalik Kisah Sukses China

(ANTARA/Lukisatrio)
Beijing (ANTARA News/Reuters) - Mayat korban kerusuhan bergelimpangan di jalanan wilayah yang penduduknya mayoritas dari minoritas Uighur, tentara dikerahkan, kerusuhan melanda kota dan Beijing pun menuding musuh-musuhnya yang berada di luar negeri berusaha memecah belah China.

Kurang dari 18 bulan lalu, saat kekerasan meletus di Tibet, respons China mudah ditebak, yaitu tindakan keras dan memperketat keamanan.

Namun menyusul ketidakpuasan yang muncul di Xinjiang yang kaya minyak itu, para analis percaya bakal ada perdebatan panjang dalam tubuh Partai Komunis untuk membahas kebijakan penanganan etnis minoritas mana yang dinilai keliru.

Kelompok konservatif yang dalam beberapa tahun belakangan berkuasa, memimpin pemberlakuan kontrol yang amat ketat terhadap kehidupan beragama dan penggunaan bahasa serta tanggapan keras terhadap kekerasan di Tibet yang meledak menjelang pelaksanaan Olimpiade Beijing 2008.

Tetapi dua ledakan kerusuhan maut yang terjadi dalam kurun setahun telah membuat publik mempertanyakan kekuasaan pemerintah yang menekan perlawanan sekecil apapun sejak Partai Komunis berkuasa pada 1949.

"Sejujurnya, menjelang ulang tahun ke-60 berdirinya Republik Rakyat China, China agak menutup mata dari masalah-masalah yang sedang dihadapinya itu," kata Dru Gladney, Presiden Pacific Basin Institute, Pomona College, California.

Berdekade-dekade lamanya Partai Komunis China melenggang diantara kebijakan garis keras yang menekan setiap bibit perpecahan dan melunturkan identitas etnis, dengan melakukan pendekatan lebih lembut dengan tujuan membuat etnis minoritas merasa nyaman dengan dua identitas, misalnya Cina Uighur atau Cina Tibet.

Mereka yang mendukung pendekatan yang lebih merangkul, mungkin akan menggunakan ledakan-ledakan kerusuhan rasial itu sebagai bukti bahwa Beijing tidak bisa menangani daerah-daerah pedalamannya yang luas hanya dengan kekerasan semata.

Masalahnya China telah membanjiri Xinjiang dan Tibet dengan investasi dan penggelaran tentara, sementara etnis mayoritas Han menilai pemerintah telah cukup bertindak dengan memberikan subsidi untuk pembangunan sekolah, klinik dan proyek infrastruktur lainnya.

"Di masa lalu, ada banyak kebijakan yang menguntungkan kaum minoritas, namun banyak suku minoritas itu yang tidak mampu memanfaatkan kebijakan-kebijakan itu," kata Bo Zhiyue, pakar politik China dari East Asian Institute, Singapura.

"Saya kira tidak ada masalah kebijakan yang fundamental, yang ada adalah soal fundamental berpemerintahan," tambahnya, yang pendapatnya sejalan dengan apa yang dirasakan elite China.

Tak Senang

Warga Uighur sendiri mengaku mereka tertinggal secara ekonomi dari etnis Han yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah. Mereka juga tidak senang karena tidak bebas beribadah dan tidak bersetuju dengan gelombang besar transmigran dari daerah-daerah China lainnya ke Xinjiang.

"Orang berharap kerusuhan di Xinjiang itu akan membuat para pengambil kebijakan China mengakui betapa dalam masalah yang dihadapi daerah tersebut dan betapa dirugikannya orang-orang Uighur itu," kata Gladney.

China mengesampingkan soal domestik ini dengan menuding separatis di pengasingan sebagai dalang kerusuhan, namun para pakar menilai kemajuan politik dan ekonomi China akan mengendalikan arus dukungan kemerdekaan di sejumlah wilayah.

Banyak kaum intelektual Uighur kini mengakui masa depan negerinya terletak pada otonomi penuh, bukan dengan memerdekakan diri.

"Jika Beijing memberi mereka otonomi yang pantas, menghentikan transmigrasi Han, dan memberikan hak berbahasa dan beribadat kepada warga setempat yang memang dijamin oleh konstitusi China, maka orang-orang Uighur akan merasa senang menjadi bagian China," kata Joanne Smith Finley pada Universitas Newcastle, Inggris.

Masalahnya, bagi Beijing, otonomi sejati bukan opsi yang benar karena itu akan menciptakan preseden bagi wilayah China lainnya untuk melepaskan diri dari kontrol pemerintah pusat.

Kebijakan Luar Negeri

Disamping menerbitkan pertanyaan seputar manajemen domestik di daerah-daerah minoritas, kekerasan yang terjadi di Xinjiang membuat provinsi ini mendapat perhatian dunia kendati itu tidak akan mengubah kebijakan luar negeri China.

Sampai detik ini, kawasan kaya minyak itu tidak terlalu dikhawatirkan oleh para diplomat China dibandingkan kepada Tibet, karena bangsa Uighur dan kegentingan di sana tidak cukup diperhatikan baik oleh Barat maupun dunia muslim.

"Bangsa Uighur tak dikenal dan mereka terasingkan dari dunia muslim, para pemimpin muslim Uighur tidak pernah bepergian ke mana-mana, tidak seperti ulama-ulama Indonesia misalnya," kata Jihad al-Khazen, kolomnis pada suratkabar al-Hayat.

Para pendukung luar negeri mereka kebanyakan dari orang-orang Uighur di pengasingan, sebaliknya orang-orang Tibet bertahun-tahun membangun citra perjuangannya di Eropa dan AS, termasuk di kalangan selebritis.

Kesalahan terbesar para pemimpin Uighur di pengasingan adalah mengklaim gambar protes di bagian lain wilayah China lainnya sebagai foto kerusuhan di Xinjiang dan ini makin mendorong pemerintah pusat untuk kian menyudutkan mereka bahwa mereka berbohong.

Sentimen nasionalis China mengenai kerusuhan di Tibet tahun lalu sendiri dibakar oleh persepsi bahwa asing hendak campur tangan pada urusan dalam negeri China.

Namun upaya bangsa Uighur dalam memperoleh dukungan internasional menghadapi kendala dari fakta bahwa setelah Serangan 11 September ke AS, China sukses mengkampanyekan kelompok separatis Uighur dalam dalam daftar teroris yang diincar AS.

"Mereka disangka dan dituduh menjadi tempat persinggahan terorisme 11 September. Sebelum Serangan 11 September ada banyak dukungan untuk Uighur baik dari Barat maupun Eropa, tetapi setelah peristiwa itu dukungan tersebut meredup," kata Gladney.

Peran global China dan penolakan umum China untuk mengomentari urusan dalam negeri negara lain, telah membuat para pemimpin negara berpenduduk mayoritas muslim tidak merespons Xinjiang karena mereka ingin mempertahankan investasi China.

Namun kendati negara-negara muslim umumnya jatuh bungkam di Xinjiang karena tak enak dengan China yang memang tak pernah ikut campur dalam masalah dalam negeri negara lain, Organisasi Konferensi Islam yang berbasis di Arab Saudi dan beranggotakan 57 negara muslim, menggutuk penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap warga sipil Uighur dan mendesak China untuk menginvestigasi kerusuhan itu. (*)