Rekaman Rekayasa Kriminalisasi KPK

Ari Muladi Diperiksa Tanpa Pengacara, Susno Diprotes
Didit Tri Kertapati - detikNews
Jakarta - Tersangka dugaan kasus pemerasan dan penipuan Direktur PT Massaro Radiocom, Ari Muladi beberapa kali menjalani pemeriksaan. Namun itu  dilakukan tanpa didampingi kuasa hukumnya. Hal ini mendapat protes keras dari pengacara Ari.

"Kami menyampaikan surat keberatan kepada Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Susno Duadji. Karena sudah beberapa kali klien kami diperiksa sebagai saksi maupun tersangka tanpa didampingi advokatnya," ujar Sugeng Teguh Santoso.

Sugeng menyampaikan hal ini seusai memberikan surat keberatan terhadap pemeriksaan yang dijalani kliennya di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (28/10/2009).

Menurut Sugeng selama ini penyidik berdalih bahwa di dalam KUHAP tidak diatur mengenai ketentuan saksi harus didampingi pengacaranya saat menjalani pemeriksaan.

Namun demikian, apa yang dijadikan alasan penyidik menurut Sugeng tidak tepat dari sisi yuridis. "Dalam UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dinyatakan bahwa seorang saksi berhak mendapatkan nasehat hukum," terang pria berkacamata ini.

Lebih lanjut Sugeng mengatakan, pada Jumat 23 Oktober kemarin Ari Muladi diminta oleh penyidik untuk menunjukkan tempat pertemuan dengan Yulianto di Hotel Crown Plaza. Usai mendatangi Hotel Crown Plaza penyidik menyatakan akan membawa Ari ke Surabaya untuk mecari Yulianto, namun dibatalkan.

"Dengan ini kami menyatakan keberatan apabila klien kami dibawa ke suatu tempat tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Klien dan advokatnya," kata Sugeng.

Sugeng menambahkan, apabila kliennya diperiksa sebagai saksi dalam kasus Chandra-Bibit. Maka pihaknya meminta pemeriksaan berjalan sebagaimana mestinya.

"Kami mohon perhatian Bapak agar ketika klien diperiksa sebagai saksi, klien dapat memberikan keterangan dalam situasi dan kondisi yang bebas tanpa tekanan dan arahan" tandas Sugeng.

(ddt/ndr)
Rabu, 28/10/2009 16:57 WIB
Rekaman Rekayasa Kriminalisasi KPK
Ritonga Gelar Jumpa Pers Lagi di Kejagung
Novia Chandra Dewi - detikNews

Jakarta - Baru Selasa kemarin buka-bukaan seputar dugaan rekayasa penyidikan kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga menggelar jumpa pers lagi.

Ritonga menggelar jumpa pers di Gedung Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (28/10/2009) sekitar pukul 16.47 WIB.

Ritonga yang mengenakan baju safari warna biru ini didampingi Kapuspenkum Didiek Darmanto.

"Iya nanti Bapak akan bicara," kata Didiek saat ditanya wartawan seputar rekaman rekayasa kasus KPK.

Jumpa pers dihadiri puluhan wartawan kini telah berlangsung.

Ritonga sebelumnya menggelar jumpa pers terkait dugaan rekayasa penyidikan kasus KPK. Dia membantah keras adanya rekayasa itu. Namun, Ritonga menolak berbicara seputar rekaman rekayasa kriminalisasi KPK yang menghebohkan itu.

(aan/nrl)
Rabu, 28/10/2009 18:06 WIB
KPK Belum Putuskan Rekaman Dibuka di MK
Rachmadin Ismail - detikNews

(Foto: Dok. detikcom)
Jakarta - Tim kuasa hukum 2 pimpinan KPK nonaktif, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto meminta agar KPK membuka rekaman rekayasa di sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Atas hal ini, KPK belum menentukan sikap.

"Belum ada keputusan apakah akan diberikan atau tidak," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Rabu (28/10/2009).

Menurut Johan, rekaman akan dibuka lewat sarana yang formal dalam penegakan hukum. Media tersebut bisa lewat pengadilan atau proses hukum yang ada di KPK.

"Untuk di MK kita belum putuskan," imbuhnya.

Sebelumnya, tim kuasa hukum Chandra-Bibit melakukan gugatan ke MK untuk melakukan uji materil pasal 32 UU KPK tentang pemberhentian sementara dan tetap pimpinan KPK. Tim merasa keberatan karena aturan tersebut melanggar asas praduga tak bersalah dan bersifat diskriminatif.

(mad/gah)
Rabu, 28/10/2009 18:03 WIB
Rekayasa Kriminalisasi KPK
Ritonga: Saya Adalah Korban yang Tertindas
Novia Chandra Dewi - detikNews

(Foto: dok detikcom)
Jakarta - Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga mengaku dirinya hanya korban dengan beredarnya kasus transkrip rekaman yang beredar itu. Meski mengaku menjadi korban, Ritonga menganggap kasus yang menimpanya biasa-biasa saja.

"Saya ini dalam bekerja mengambil falsafah dalam hidup biaso-biaso sajo. Itu yang saya pelajari dari ajaran HAMKA. Prinsip itu yang selalu saya terapkan," ujar AH Ritonga.

Hal itu disampaikan dia dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (28/10/2009).

Ketika ditanya apa akan mengambil langkah atas beredarnya transkrip yang juga menyebut SBY dan mantan Jamintel Wisnu Subroto, atau akan melakukan konfirmasi ke KPK, Ritonga enggan menjawab dengan alasan dirinya hanyalah korban.

"Kalau alamat pertanyaan itu bukan ke saya seharusnya. Karena saya adalah korban. Ditanyakan itu perasaannya akan terbanting dan mengakibatkan jadi tidak obyektif. Kalau pertanyaan itu ditanyakan ke pejabat lain seperti Jaksa Agung, Jamwas atau lainnya saya anggap tepat," jawab Ritonga.

Apakah Kejaksaan akan melakukan pengusutan untuk menindaklanjuti hal itu?

"Saya kira arah pertanyaan itu jangan ke saya. Diajukan ke pejabat lain akan lebih cocok. Kalau ke saya, seorang yang namanya korban yang tertindas pasti emosinya, nggak..ya begitulah. Kita pokoknya mengacu pada prinsip biaso-biaso sajo," jelasnya.

Ketika dicecar kembali apakah akan mengajukan kasus ini sebagai pencemaran nama baik, dijelaskan Ritonga, penyebaran transkrip ini bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik di KUHP.

"Kemarin saya sudah mengemukakan di pers rilis bahwa perbuatan itu bisa diancam oleh hukum pidana. Baik Pasal 310 dan Pasal 311 maupun Pasal 20 UU ITE. Tapi apakah akan menggunakan hak atau tidak sampai sekarang saya masih biaso-biaso sajo," jelasnya.

(nwk/iy)
Rabu, 28/10/2009 17:42 WIB
Rekayasa Kriminalisasi KPK
Presiden Diminta Jadi Mediator KPK, Polri dan Kejagung
Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Presiden SBY diminta untuk segera mempertemukan KPK, Polri dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan. Persoalan belum selesai meski SBY mengklarifikasi soal rekaman yang berisi rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK tersebut.

"Saya kira presiden jangan hanya mengklarifikasi tentang dirinya saja. Tapi rekaman ini juga terkait dengan institusi ini yang ada di bawahnya, kepolisian dan kejaksaan. Presiden harus mengambil inisiatif mempertemukan mereka sekaligus melihat sejauh mana isi rekaman tersebut, " ujar Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki di Hotel Atlet Century, Jl Pintu Satu Senayan, Jakarta, Rabu (28/10/2009).

Dengan mempertemukan ketiga lembaga tersebut, SBY jangan khawatir dituding melakukan intervensi politik. Menurut Teten, pertemuan itu penting untuk penegakan hukum serta dalam upaya memperbaiki Polri dan Kejaksaan.

"Sebagai pimpinan negara sebaiknya ikut mencairkan," tambahnya.

Rekaman itu, lanjut Teten, juga bisa menjadi bukti kuat kalau ada yang salah dalam penetapan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Jika terbukti benar, ketiga lembaga tersebut akan dapat mengambil tindakan terhadap oknum-oknum yang terlibat.

"Kalau memang benar, itu bisa dijadikan masukan untuk mengambil tindakan terhadap oknum-oknum yang terlibat," tandasnya.

(mok/iy)
Rabu, 28/10/2009 17:52 WIB
Mirip Kasus Munir, Kriminalisasi KPK Harus Diusut Tim Independen
Gagah Wijoseno - detikNews

Jakarta - Beredarnya rekaman kriminalisasi pimpinan KPK dikritisi. Akan lebih baik bila Presiden SBY membentuk tim independen guna mengusut kasus ini. Mirip kasus Munir, kasus ini melibatkan institusi negara.

"Kasus Munir telah membuktikan bahwa jika sebuah kasus melibatkan elemen institusi negara, khususnya aparat hukum, TNI, atau BIN misalnya, dibutuhkan jalan extraordinary. Itu pun belum jaminan, bahwa kasus itu terungkap tuntas," jelas Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi dalam siaran pers, Rabu (28/10/2009).

Menurut Hendardi, tim independen harus dibentuk dengan melibatkan elemen-elemen lintas termasuk perwakilan masyarakat sipil.

"Tanpa penuntasan, skandal ini akan menjadi kontroversi berkepanjangan dan menimbulkan ketidakpercayaan publik," tambahnya.

Sekalipun rekaman itu belum terbukti kebenarannya namun dinilai harus dilakukan penyikapan serius.

"Ini skandal politik tingkat tinggi. Presiden harus bertindak, mengeluarkan Perpu Plt saja bisa, kenapa membentuk tim yang akan menyelamatkan integritas penegak hukum tidak berani," tutupnya.

No comments:

Archives